UJI RESISTENSI VEKTOR TERHADAP INSEKTISIDA
DI WILAYAH PELABUHAN LAUT JAYAPURA
BULAN JULI TAHUN 2025
Hery Fandri Imbiri, SKM
Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas 1 Jayapura
Wilayah Kerja Pelabuhan Laut Jayapura
PENDAHULUAN
Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit-penyakit arbovirus (malaria demam berdarah, chikungunya, demam kuning, encephalitis dan lain-lain), serta penyakit-penyakit nematoda (filariasis), riketsia, dan protozoa (malaria), setidaknya ada sekitar 29 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia yang menjadi perantara penularan penyakit di Indonesia. Penyebaran penyakit tular nyamuk hampir di seluruh wilayah indonesia, salah satunya di Propinsi Papua yang merupakan salah satu wilayah yang terdapat penyakit tular vektor seperti malaria, DBD dan filariasis.
Dalam upaya pengendalian vektor nyamuk yang tepat sasaran dan efektif, diperlukan pengetahuan bionomik dan morfologi nyamuk sebagai data dasar dalam pengendalian penularan penyakit tersebut. Pengendalian terhadap vektor nyamuk tersebut telah dilakukan setiap tahunnya. Salah satunya secara kimiawi menggunakan insektisida pada stadium dewasa dengan pengkabutan (thermal fogging) dan pengendalian jentik dengan larvasida. Pemakaian insektisida secara terus menerus dalam waktu lama dapat menyebabkan resistensi, sehingga pengendalian vektor yang dilakukan menjadi tidak efektif. Untuk mengetahui seberapa besar resistensi vektor terhadap suatu insektisida salah satunya dapat menggunakan uji bioassay. uji bioassay (efikasi) merupakan uji resistensi yang dinilai berdasarkan kematian nyamuk terhadap pemberian insektisida tertentu.
Malaria merupakan salah satu penyakit yang ditularkan vektor,dimana penyakit malaria masih yang ditularkan oleh nyamuk anopheles, diIndonesia nyamuk anopheles sebagai vektor penyakit telah ditemukan 26 spesies. Setiap daerah memiliki ciri tersendiri dimana Anopheles sebagai vektor dengan spesies yang berbeda. Data surveilans vektor malaria merupakan data dasar melakukan metode pengendalian vektor, beberapa metode pengendalian yang dapat dilakukan dengan metode fisik, biologi, modifikasi lingkungan dan kimia. Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi akibat virus yang menular melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini menimbulkan gejala demam tinggi, sakit kepala, serta nyeri tulang dan otot. Jika tidak ditangani dengan tepat, demam berdarah berisiko mengancam nyawa. DBD cepat tersebar dari satu penderita ke penderita lain, hal ini disebabkan karena peran nyamuk Aedes aegypti sebagai penyebar penyakit ini. Bahkan satu gigitan nyamuk yang membawa virus penyakit ini mampu menularkan penyakit pada orang yang sehat.
Kota Jayapura merupakan daerah endemis tinggi malaria dan berdasarkan data SKDR pada Jenis Penyakit Potensial Wabah dan ILI pada Poli Non BKK Buffer Area Pelabuhan Laut Jayapura per oktober 2024 terdapat 43 kasus malaria. Berdasarkan data SKDR LB1 hingga minggu ke 27 total kasus malaria 25.605 penderita, Sedangkan untuk kasus penyakit DBD berdasarkan data Jenis Penyakit Potensial Wabah dan ILI pada Poli Non BKK Buffer Area Pel Laut Jayapura per oktober 2024 terdapat 2 kasus, Selain kasus malaria di Kota Jayapura juga terdapat data kasus penyakit DBD, data Puskesmas periode Jan s/d Okt’ tahun 2024 dari total 173 kasus. Diwilayah kerja Pelabuhan Lut Jayapura dengan jumlah kasus 34 penderita (Puskesmas Jayapura Utara 22 kasus dan Puskesmas Hamadi 12 kasus).
Upaya pencegahan dan pengendalian vektor yang telah dilakukan dari bulan Jan s/d Okt’ 2024 yaitu telah dilakukan penyuluhan kepada Masyarakat, kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE) – dilakukan oleh JP Puskesmas setempat, pembersihan/ Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), survei jentik dan 3M (menguras, menutup, dan memanfaatkan/ mendaurulang), memutus tempat perkembangbiakan nyamuk aedes, Melakukan larvaciding, dan tindakan Fogging atau fogging sebelum kasus DBD (biasa dilakukan diawal tahun januari, februari sampai maret sebelum trend kasus DBD meningkat).
Resistensi vektor terhadap insektisida adalah suatu kemampuan vektor, baik secara individual atau sebagai populasi untuk bertahan terhadap suatu dosis insektisida tertentu yang sebelumnya cukup efektif untuk mengendalikannya. Definisi tersebut mengindikasikan bahwa fenomena resistensi terjadi setelah populasi vektor itu terpapar oleh insektisida. Resistensi insektisida merupakan karakteristik genetik yang diturunkan, dimana frekuensi populasi vektor meningkat sebagai dampak selektif dari aplikasi insektisida. Resistensi insektisida yang paling banyak dilaporkan saat ini adalah resistensi vektor penyakit terhadap golongan insektisida pirethroid. Resistensi insektisida bersifat spesifik lokal, dan dapat menjadi salah satu penyebab fundamental berkembangnya penyakit tular vektor, atau dengan kata lain dapat menjadi ancaman serius bagi upaya pengendalian penyakit tular vektor. Uraian di atas menunjukkan bahwa salah satu kebutuhan dalam mendukung upaya pengendalian malaria adalah tersedianya data status resistensi insektisida.
Monitoring resistensi adalah kegiatan secara berkala (minimal satu tahun satu kali) untuk mengetahui kerentanan vektor terhadap insektisida yang akan dan sedang digunakan. Salah satu metode untuk melakukan monitoring resistensi dengan uji kerentanan. Uji keretanan adalah suatu uji untuk mengetahui status kerentanan vektor malaria terhadap insektisida yang sudah dipakai atau akan dipakai, dimana akan terjadi seleksi populasi vektor yang mati atau dapat bertahan hidup. Dari hasil uji akan menggambarkan status resistensi vektor yang diuji, dimana ada tiga jenis resistensi yang terjadi. Menurut WHO (2013) ada tiga jenis status resistensi yaitu rentan, resisten moderat, dan resisten tinggi. Proses terjadinya resistensi dapat disebabkan oleh tiga faktor :
Pengendalian vektor dengan insektisida yang telah lama digunakan meliputi empat golongan, yaitu (1) Organoklorin (OC) seperti DDT, (2) Organofosfat (OP) seperti Fenitrotion, (3) Carbamat (C) seperti Bendiocarb, dan (4) Sintetik Pyretroid seperti Lamdacyhalotrin, Permethrin, Deltamethrin, Cypermethrin dan lain-lain. Upaya kegiatan monitoring resistensi vektor terhadap insektisida ini dapat menyediakan data dan informasi tentang status kerentanan vektor malaria maupu Dbd yang dipakai sebagai pertimbangan dalam tindakan pengendalian vektor. Kegiatan monitoring status kerentanan vektor dilakukan secara berkala minimal satu tahun sekali terhadap vektor utama sesuai jenis insektisida yang digunakan.
TUJUAN
Untuk mendapatkan gambaran tersedianya data resistensi vektor malaria dan Dbd terhadap beberapa insektisida yang sedang atau akan digunakan dalam program pengendalian vektor malaria dan Dbd di Wilayah Pelabuhan Laut Jayapura, Kota Jayapura maupun Provinsi Papua, serta Menentukan status resistensi vektor malaria dan Dbd terhadap insektisida Cypermetrin yang digunakan dalam program pengendalian vektor di BKK Kelas I Jayapura.
METODE
Survei Mengumpulkan data sekunder tentang riwayat kasus malaria dan Dbd di Wilayah Pelabuhan Laut Jayapura, Menentukan lokasi penangkapan nyamuk. Mempersiapkan bahan dan alat yang akan digunakan, yaitu : Alat / Bahan Penangkap Nyamuk Uji Tabung aspirator, Paper cup, Timer, Higrometer, Termometer maksimum-minimum, Larutan gula 10%, Handuk katun, Kain kasa, Gunting, Senter, Karet gelang, Kapas, Cool box. Alat / Bahan Uji Kerentanan, WHO Susceptibility test kit, Insecticides impregnated paper, Control impregnated paper, Larutan gula 10 %, Kapas, Mikroskop Stereo, Kertas label/masking tape, Kertas tissue, Gunting, Cawan petri, Pinset, Nuct Vial (eppendorf), Silika gel, Chloroform.
Koleksi nyamuk dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung kondisi lokasi, sebagai berikut: Animal bite trap, dan/atau Resting collection dan/atauHuman landing collection, dan/atau Larval collection. Koleksi nyamuk di Wilayah Pelabuhan Laut Jayapura menggunakan metode human landing collection.
Identifikasi nyamuk Identifikasi sebaiknya dilakukan sebelum uji tanpa merusak nyamuk, jika tidak memungkinkan identifikasi dilakukan stetelah nyamuk di uji. Dikelompokkan berdasarkan spesies, Identifikasi dilakukan dengan melihat ciri khas (spesifik) dari lokasi, Identifikasi spesies berdasar kunci identifikasi nyamuk Anopheles, Hasil identifikasi dimasukkan dalam paper cup dengan spesies yang sama sampai jumlahnya memenuhi kebutuhan uji. Setelah uji selesai nyamuk disimpan berdasar respon dan diperiksa ulang spesiesnya, untuk konfirmasi.
Metode Pengujian dan Insektisida yang digunakan, Kegiatan monitoring resistensi terhadap beberapa jenis insektisida dilaksanakan dengan menggunakan metode WHO Susceptibility test dan insektisida yang digunakan adalah Impregnated paper; Chypermethrin 0,05 %. Pelaksanaan Pengujian, Untuk setiap uji bahan aktif, siapkan susceptibility test kit : Untuk Anopheles 6 pasang (2 kontrol & 4 ulangan), Tabung penyimpanan (holding tube) ditandai warna hijau, dilapisi dengan kertas putih yang bersih (tanpa minyak pelarut/insektisida), Tabung pajanan (exposure tube) ditandai dengan warna merah, Tabung kontrol (control tube) ditandai dengan warna hijau, Impregnated paper yang digunakan sesuai discriminating dose WHO 2016.
Masukkan nyamuk dalam tabung holding selama 1 jam, Hitung dan catat jumlah nyamuk yang pingsan & mati (tidak diikutkan dalam uji), Pindahkan dengan hati-hati ke tabung perlakuan, Untuk bahan aktif yang bersifat knock down (melumpuhkan) lakukan pengamatan jumlah nyamuk setiap 5, 10, 15, 20, 30, dan 60 menit, Posisi tabung vertical, Lama perlakukan sesuai jenis insektisida yang digunakan., Setelah selesai tahap pajanan, pindahkan kembali ke tabung holding. Diamkan selama 24 jam.
Analisis :Hasil pengamatan dicatat dalam form, Nyamuk yang masih hidup setelah uji selesai, dimatikan dengan memberikan kloroform dan disimpan dalam nuct vial (eppendorf) maksimal 5 nyamuk per vial dan diberikan label jenis spesiesnya. Spesimen dalam nuct vial (eppendorf) disimpan dalam wadah berisi silica gel, Koreksi Angka Kematian Nyamuk Uji, Dihitung persentasi kematian nyamuk uji dan kontrol. Bila persentasi kematian nyamuk kontrol setelah pengamatan/pemeliharaan 24 jam antara 3-10%, maka persentase kematian nyamuk uji dikoreksi dengan formula Abbot:
AI = % Kematian nyamuk uji setelah dikoreksi
A = % Kematian nyamuk uji
B = % Kematian nyamuk kontrol
Apabila persentasi kematian nyamuk kontrol lebih dari 10%, maka pengujian ini dianggap gagal dan harus diulang lagi. Kriteria Status Kerentanan, Tingkat kerentanan vektor ditentukan berdasarkan persentase kematian nyamuk uji setelah periode pengamatan/pemeliharaan 24 jam (WHO 2016), kematian nyamuk uji ≥ 98% dinyatakan rentan, kematian nyamuk uji 90 - <98 % adalah terduga resisten, sedangkan kematian < 90% adalah resisten.
Kegiatan survei mulai dari survei lokasi, observasi lingkungan sampai dengan identifikasi dilaksanakan pada tanggal 07 s/d 15 Juli 2025. Pelaksananya adalah tenaga entomologi dan epidemiologi Balai kekarantinaan Kesehatan Kelas I Jayapura.
HASIL
1. Dasar Pelaksanaan Kegiatan
Surat Tugas Nomor : No. PV.05.01/C.X.19/1556/2025, tanggal 07 Juli 2025 tentang melaksanakan kegiatan Uji Resistensi Insektisida di Wilayah Pelabuhan Laut Jayapura.
2. Hasil Uji
Hasil uji resistensi insektisida yang digunakan terhadap nyamuk uji Aedes Sp, dan Anopheles sp, Hasil uji resistensi nyamuk Aedes dan Anopheles terhadap insektisida Cypermetrin 0,05% (Impregnated insectiside paper) diwilayah Pe;abuhan Laut Jayapura dengan menggunakan metode WHO Susceptibility Test di Kota Jayapura, Tabel 1. Hasil Uji Resistensi Nyamuk Aedes dan Anopheles Terhadap Insektisida Golongan Cypermetrin 0,05%.
Cypermethrin 0,05% | Cypermethrin 0,05% |
Rentan (Kematian nyamuk Aedes = 98 - 100%) | Rentan (Kematian nyamuk Anopheles = 100%) |
(WHO,2016, Test procedures for insecticide resistance monitoring in malaria vector mosqouitoes. Second edition), Monitoring and managing insecticida resistance in aedes mosquito populations)
Berdasarkan data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nyamuk Aedes dan Anpheles di Wilayah Pe;abuhan Laut Jayapura masih rentan terhadap insektisida Cyermethrin 0,05%. Nyamuk yang dijadikan bahan uji adalah Aedes Aegypti dan Anopheles, nyamuk yang ditemukan di lokasi penangkapan nyamuk adalah Ae, Aegypti dan Ae, Albopictus, An.koliensis dan Ponctulatus. Alasan penggunaan sampel dari spesies Aedes adalah karena nyamuk tersebut ditemukan dalam jumlah populasi yang sangat tinggi (95%). Sebagai data pendukung, koleksi nyamuk tim survey juga melakukan penangkapan dan identifikasi nyamuk berbagai spesies untuk mengetahui jenis spesies terbanyak yang ada di wilayah tersebut. Hasil identifikasi nyamuk Aedes dan Anopheles.
KESIMPULAN DAN SARAN
REFERENSI
WHO,2016, Test procedures for insecticide resistance monitoring in malaria vector mosqouitoes. Second edition,
WHO,2016 Monitoring and managing insecticida resistance in aedes mosquito populations.
Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor Dan Zoonotik, 2018, Panduan Monitoring Resistensi Vektor Terhadap Insektisida.
Labkesmas Papua. Penentuan Status Resistensi Vektor Terhadap Insektisida di Kab Boven Digoel 2024